Sunday, March 9, 2008

Hilang

Aku tidak tahu harus memulai darimana. Semua berjalan dengan begitu lambat. Waktu bergerak lebih lambat dari yang aku inginkan, tapi aku tahu kalau waktu bukan teman terbaik bagiku saat ini. Setiap detik yang berjalan menjadi menjadi sahabat bagiku untuk melewati hari ini.

Pagi ini, aku bangkit dari tempat tidur. Bersiap-siap untuk memulai suatu aktivitas yang aku sendiri tidak tahu apa aktvitas yang akan kulakukan karena bagiku itu bukan suatu aktivitas tapi suatu rutinitas. Ada perbedaan antara keduanya. Aktivitas bagiku adalah kegiatan yang terencana dan punya tujuan sedangkan rutinitas adalah kegiatan yang menjadi teman sehari-hariku. Kubasuh muka dengan air, menatap wajahku di cermin. Tidak ada perubahan yang nyata. Setiap hari aku melakukan hal yang sama, jadi setiap perubahan pasti aku ketahui. Pagi ini, tidak ada perubahan itu. Bergegas aku menyudahi cuci muka, dan menuju meja makan. Di sana sudah tersedia roti dan segelas coklat panas. sarapan pagi yang sempurna, pikirku. Pelan-pelan aku mengunyah sepotong roti sambil membaca koran pagi itu. Tidak ada berita yang menarik. Hanya seputar kasus korupsi, kenaikan harga barang kebutuhan pokok, kenaikan harga minyak mentah, PILKADA dan berita kriminal. Aku melanjutkan sarapan pagi sendiri dan menikmatinya tanpa gangguan kecuali gangguan dari dalam diriku sendiri.

Hari ini, tidak ada aktivitas. Hanya rutinitas. Sendiri kumelawati hari yang berjalan lambat. Kucoba mencari kesibukan, namun tidak mampu mengusir kebosanan yang kuciptakan sendiri. Aku berkecimpung dalam dunia pikiranku sendiri. Berbicara dengan alam pikiranku yang tiada henti menggangu kesedirianku. Percakapan antara kami menjadi keributan yang tak mampu kuatasi sendiri. Engkau membiarkannya pergi.. ini salahmu. "Tidak", jeritku. Bukan aku yang salah, bukan aku yang meninggalkan dia. Tapi dia yang pergi menjauh. Aku hanya perempuan yang ditelah dikonstruksikan secara sosial untuk pasif. haruskan aku yang disalahkan?mengapa bukan dia yang disalahkan. Kaum yang selalu harus ada diatas kami. Bukan aku yang memilih, aku hanya mampu menjawab. Ya...kamu hanya mampu menjawab, tapi jawabanmu bukanlah jawaban yang dia inginkan. "Oh ya?" batinku menegaskan kembali. Aku belum memberikan jawaban padanya tapi dia sudah menjauh. Mulutmu tidak berbicara tapi lakumu berkata demikian. Aku terdiam. Kata-kata itu sangat menusuk. Tepat di sasaran. Apa dayaku. Menangis, haruskah aku menangisi kepergiannya? Bukankah itu semua salahku seperti kata pikiranku? Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Aku mengambil ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur, mencoba untuk menghubunginya, tapi aku tidak punya keberanian. Seolah-olah semua keberanian yang kumiliki hilang entah kemana. Aku hanya mampu memegang ponsel itu, dan berhenti pada titik itu. Mataku basah, tidak.. aku tidak mau menangis. Ini bukan aku, batinku. Aku masih menyangkal pikiranku dan meyakinkan diriku bahwa ini bukan salahku. Semakin kuat aku menahan air mataku semakin tak terbendung jatuhnya di pipiku. Akhirnya aku mengalah, membiarkannya jatuh membasahi pipiku. Tanpa ada halangan, seolah-olah setiap tetes airmata mewakili setiap pedih yang kurasakan.

Ada kepuasan yang kurasakan. Menangis, menjadi suatu pelepasan emosi yang memuncak. Air mata menjadi penolong bagiku yang menangisi kesendirian ini. Pikiranku berhenti berkata-kata. Seolah mengerti apa yang sedang kualami. Dia membiarkanku terdiam merenungi apa yang telah dia katakan. Sudah terlalu lama aku menangis dan kini saatnya bangkit kembali. Waktu telah berjalan meninggalkan sang matahari dan menyambut sang bulan. Aku beranjak mandi. Membasuh setiap inchi tubuhku dengar air dan membersihkan semua kotoran yang melekat padanya.

Memulai rutinitas selanjutnya, menyambut aktivitas untuk keesokan harinya. Apa yang terjadi hari ini, biarlah hanya aku yang tahu. Besok aku akan bertemu dengannya, menjalani hari-hariku kembali dengan kehadirannya namun tanpa dirinya lagi. Aku sudah memutuskan, ini menjadi kesalahan yang terakhir. Aku tahu, sang empunya kehidupan akan memberiku kesempatan yang kedua. Aku tidak peduli kapan kesempatan itu datang, namun aku akan meraih kesempatan itu. Meskipun bukan dengan dirinya.....


NB: Ini hanya khayalan aja ya....waktu dengar lagu so far away nya dari staind. Menurutku lagu itu berisikan tentang kehilangan seseorang jadi terisnpirasi githu ceritanya ... (hehehehehe)

3 comments:

Anonymous said...

Membasuh setiap inchi tubuhku dengar air dan membersihkan semua kotoran yang melekat padanya.

????? kek ukuran TV aja pake inchi..

Sudahlah Nora, tidak usah kamu bersedih lagi.
Siapakah gerangan yang tega menitikkan bulir-bulir air di pipimu itu?
Biar saya patahkan lehernya.
* preman mode: ON

Anonymous said...

oii markonah.. dah dibilang ini fiksi. Ecek-eceknya kayak cerpen githu. jangan ko masukkan ke dalam hatilah.. klo kata-kata inchi itu biar lebih dramatis aja kaleee (heheheheh)

t i n i said...

mulut siapa yg lantam kali itu??
hehe
pasti si zulkarnaen a.k.a sumanto ini kan?